Rabu, 01 Maret 2017

Makalah : RIBA



PENDAHULUAN

            Dalam kehidupan ini, manusia tidak lepas dari aktivitas ekonomi. Baik dalam jual beli maupun tukar menukar barang dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
            Riba merupakan permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat, karena perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan bidang perekonomian dan juga muamalah. Dalam muamalah riba diharamkan baik dalam al-Qur’an maupun hadis, karena pada dasarnya riba adalah pengambilan tambahan secara batil baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.
            Riba menjadi bahan pembicaraan oleh para ilmuwan baik ilmuwan Barat maupun Timur. Beberapa ilmuwan melarang adanya praktik riba dan beberapa yang lainnya tidak mempermasalahkan riba. Dalam ajaran Islam, riba dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis dan jelas hukumnya haram, dan oleh karena itutidak perlu dipertentangkan.[1]


1. Pengertian Riba
            Secara etimologis riba berarti ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar, secara terminologis fiqh, riba yaitu pengambilan tambahan dari pokok atau modal secara tidak baik atau bertentangan dengan prinsip syariah.[2]
            Riba merupakan tambahan yang diambil atas adanya suatu utang piutang antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan pada saat awal dimulainya perjanjian. Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip Islam. Ibn Hajar Askalani mengatakan bahwa, riba adalah kelebihan baik itu berupa kelebihan dalam bentuk barang, maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukaran dengan satu rupiah.[3]
            Unsur riba terdapat dalam utang yang diberikan dengan perjanjian bahwa peminjam akan membayar utangnya ditambah dengan jumlah tertentu. Pihak pemberi pinjaman dan peminjam telah mensyaratkan adanya tambahan yang harus dibayar oleh peminjam. Riba adalah kelebihan pembayaran yang dibebankan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terkait jangka waktu pengembalian atas pinjaman itu.[4]
            Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[5]


B. Dasar Keharaman Riba
            Pernyataan al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat al-Baqarah ayat 275.

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا)  البقرة:  ٢٧٥   (
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al-Baqarah 275)

            Surat al-Baqarah ayat 275 diatas menegaskan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[6]
            Status hukum riba adalah haram, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 275. Yang menjadi illat diharamkan riba menurut QS. Al-Baqarah:278-279 adalah karena riba mengandung unsur menzalimi.[7]

Larangan riba juga dapat ditemukan dalam hadis Rasulullah SAW.

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَا, وَمُوكِلَهُ, وَكَاتِبَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
            Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim
            Rasulullah SAW bersabda: “Riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang.” H. R. Ahmad
            Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam surat al-Baqarah ayat 275 ditegaskan bahwa Allah akan memusnahkan harta yang diperoleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya.[8]


C. Macam - Macam Riba
            Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliah. Adapun kelompok kedua riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Penjelasan macam-macam riba tersebut sebagai berikut:

1.    Riba qardh. Riba qardh adalah riba yang terjadi karena dalam akad yang bersangkutan, pihak yang meminjamkan menuntut pengembalian lebih kepada pihak yang dipinjami yang dituangkan dalam akad.
2.    Riba jahiliah. Riba jahiliah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.
3.    Riba fadhl. Riba fadhl adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria secara: (a) kualitas; (b) kuantitas; (c) penyerahan yang tidak dilakukan secara tunai. Pertukaran jenis ini mengandung ketidakjelasan (gharar) bagi kedua belah pihak terhadap barang yang dipertukarkan.
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah, “tambahan zat harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis” Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.[9]
Riba ini terjadi pada barang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan dengan satu setengah kilogram kentang.[10]
4.    Riba nasi’ah. Riba nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[11]
Maksudnya, menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang dibayar setelah dua bulan. Contoh jual beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.[12]


D. Dampak Negatif Riba
a.    Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang, karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.[13] Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.[14]
Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.[15]
b.    Dampak Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapatkan dengan tidak adil karena terdapat pemaksaan mengembalikan pada waktunya, jika melebihi maka akan terdapat tambahan dalam pengembalian hutang/pinjaman tersebut. Padahal belum tentu peminjam mampu mengembalikan tepat waktu dan membayar kelebihan-kelebihan yang ditetapkan[16]

Menurut Muthahhari, ada beberapa alasan dan filosofi diharamkannya riba, yaitu:
1.    Riba mencegah kebaikan dan meniadakan pengharapan orang-orang yang memiliki kebutuhan terhadap orang lain. Riba mengambil keuntungan dari kebutuhan orang lain. Adapun Islam menginginkan agar manusia berbuat baik terhadap sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan.
2.    Riba memutuskan berkaitan antara kekayaan dan usaha. Orang-orang memperoleh manfaat dari harta riba, ia telah mendapatkan kekayaan tanpa usaha.
3.    Menghilangkan sumber daya manusia yang produktif, sehingga menyebabkan resesi ekonomi dan hilangnya kesejahteraan masyarakat.
4.    Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak mempunyai fungsi selain alat tukar.[17]



KESIMPULAN

Riba merupakan tambahan yang diambil atas adanya suatu utang piutang antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan pada saat awal dimulainya perjanjian. Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip Islam
Status hukum riba adalah haram, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 275. Yang menjadi illat diharamkan riba menurut QS. Al-Baqarah:278-279 adalah karena riba mengandung unsur menzalimi.
Larangan riba juga dapat ditemukan dalam hadis Rasulullah SAW, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.
Macam-macam riba
1.    Riba qardh
2.    Riba jahiliah
3.    Riba fadhl
4.    Riba nasi’ah

Dampak Negatif Riba
a.    Dampak Ekonomi, para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
b.    Dampak Sosial Kemasyarakatan, riba merupakan pendapatan yang didapatkan dengan tidak adil karena terdapat pemaksaan mengembalikan pada waktunya.


DAFTAR PUSTAKA


Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, Malang: UIN-Maliki Press, 2012

Ismail, Perbankan Syariah,  Jakarta: Kencana, 2011

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Kencana, 2012

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani, 2001

Rachmad Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012



[1] Ismail, Perbankan Syariah, ( Jakarta: Kencana, 2011), h. 11
[2] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Kencana, 2012) h. 20
[3] Ismail, Perbankan Syariah,... h. 11
[4] Ibid, h. 12
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,( Jakarta:Gema Insani, 2001) h. 37
[6] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h.152
[7] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Mu’amalah, h. 20
[8] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), h. 133
[9] Rachmad Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 262
[10] Ibid h. 264
[11] Muhammad Syafi’i Antonio..., h. 41
[12] Rachmad Syafe’i..., h. 263
[13] Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 32
[14] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 65
[15] Ibid                                                      
[16] Sumar’in,... h. 32
[17] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Mu’amalah, h. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar