FIQIH TERORISME
HUKUM BOM BUNUH DIRI
A.
Pendahuluan
Kegeraman
sebagian umat Islam terhadap tindak imperialisme Barat terhadap sebagian muslim
di dunia menimbulkan rasa empati, simpati dan bahkan dendam muslim lainnya,
sehingga mereka berusaha melakukan perlawanan. Salah satu cara perlawanan yang
kini marak dilakukan adalah dengan aksi bom bunuh diri.
Bahkan
aksi semacam ini tidak hanya terjadi di wilayah atau negara yang sedang
dijajah, akan tetapi juga sering terjadi di daerah atau negara damai seperti di
Indonesia. Para pelaku bom bunuh diri sering melakukan aksinya di objek-objek
vital yang banyak dikunjungi warga Negara Barat yang telah melakukan teror
terhadap sebagian umat Islam di Palestina, Irak, Afganistan dan sebagainya.
Mereka
tidak memandang, apakah aksi bom bunuh diri dapat membunuh dan melukai warga
sipil yang tak berdosa serta mengakibatkan korban kerusakan di
fasilitas-fasilitas umum seperti hotel stasiun, bandara, dan fasilitas umum
lainnya.[1]
B.
Konsep dasar bom bunuh diri
1.
Pengertian Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri atau juga
dikenal sebagai bom manusia (human
bombing) menurut
Nawaf Hail Takruri adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya
dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian
menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan
besar ikut terbunuh.[2]
Adapun menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah
adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk
melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi
dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin.[3]
Nawaf Hail al-Takruri, dalam
bukunya al-‘Amaliyat al-Istisyhadiyah fi Mizani al-Fiqhi mendefinisikan bom
bunuh diri sebagai berikut:
“Bom tas atau
bom mobil dan sejenisnya yang diledakkan oleh seorang mujahid dengan cara
menerobos barisan musuh atau tempat yang didiami oleh musuh atau di kendaraan
seperti pesawat dan sejenisnya dengan tujuan membunuh atau melukai musuh
tersebut atau menghancurkan musuh, sementara sang pelaku sudah pasrah dan siap
mati demi tujuan.”
Definisi diatas merujuk pada
bom bunuh diri yang dilakukan sebagai bentuk jihad. Karena Nawaf menyebut
pelakunya sebagai mujahid atau orang yang berjihad. Bom bunuh diri seperti ini
dapat dikategorikan jihad apabila memenuhi syarat-syarat.[4]
Para penulis kamus bahasa Arab
menyatakan bahwa jihad adalah perjuangan
melawan musuh hingga dapat mengalahkannya atau berjuang hingga mencapai batas
kesanggupan. Dalam Islam, jihad adalah berperang melawan orang kafir dan
semacamnya.[5]
Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya menyatakan bahwa berjihad adalah berkorban dengan harta, jiwa, dan
melawan dengan lisan dan tulisan. Dalam
Al-Qur’an, kata jihad mengandung
arti memberikan perlawana dengan kekuatan secara mutlak.[6] Mempertaruhkan hidup seseorang
dan segala sesuatu yang dimiliki untuk mencapai tujuan disebut jihad.[7]
Dalam kumpulan risalah
pembahasan tentang fenomena kontemporer bom bunuh diri didefinisikan sebagai berikut:
“seseorang yang menerobos ke
tengah-tengah kerumunan musuh dengan membawa bahan peledak (bom), biasanya bom
mobil dengan tujuan melukai dan membunuh musuh, sementara pelakunya turut
mati”.[8]
Serangan bunuh
diri adalah sejenis taktik, yang direncanakan dan di organisir oleh kelompok
militer atau para militer yang berkomitmen tinggi. Menurut Robert Pape,
direktur Proyek Chicago tentang terorisme bunuh diri dan pakar tentang bom
bunuh diri, 95 persen dari serangan-serangan itu di waktu-waktu belakangan ini
mempunyai tujuan strategis spesifik yang sama yaitu memaksa Negara yang
diperebutkan. Pape mencatat bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir
serangan-serangan bunuh diri sebagai taktik politik digunakan unutk melawan
Negara-negara demokratis di mana opini public memainkan peranan dalam
menentukan kebijakan.
2. Bom Bunuh diri
sebagai Jihad
Jihad diambil dari kata
dasar al-juhdu, yang bermakna kekuatan dan kesulitan. Disebut dengan
jahada-yujahidu-jihadan-wa mujahadatan adalah bila seseorang harus mengerahkan
seluruh kekuatan ,menguras tenaga, rela menanggung kesulitan dalam memerangi
musuh,vdan melawan mereka.[9]
Bom bunuh diri sebagai bentuk jihad disini di pahami sebagai suatu
tindakan yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melakukan
perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan baik
jiwa dan raga. Oleh sebab itulah, perjuangan atas nama Islam yang terformulasi
menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut.
Bom bunuh diri yang dilakukan
seseorang sebagai bentuk jihad adalah untuk melawan musuh-musuh, melukai musuh
dan membunuh musuh serta membela agama Islam. Orang yang melakukan bom bunuh
diri tersebut bisa saja meninggal karena bom yang diledakkannya itu. Karenanya
sang pelaku bom bunuh diri tersebut sudah siap untuk mati. Dan menganggap
kematiannya sebagai bentuk jihad.
Jumhur ulama termasuk ulama
empat madzhab mengkategorikan menerobos pasukan musuh sebagai jihad. Pelaku
disebut sebagai mujahid dan apabila mati maka dia mati syahid dan bukan bunuh
diri. Namun aksi semacam ini harus memenuhi dua syarat:
a.
Orang
yang melakukan nya harus ikhlas dengan didasari niat untuk menggapai ridha
Allah Swt.
Berdasarkan firman Allah Swt dalam
surat al-Baqarah ayat 207:
“Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya.”
b.
Pelaku
harus yakin atau dengan perhitungan yang matang bahwa aksinya tersebut akan
mengalahkan musuh
Sebagian ulama tidak
membolehkan menerobos barisan musuh, karena aksi tersebut sama saja dengan aksi
bunuh diri pada umumnya yang dilarang oleh Allah Swt., sebagaimana dalam
firmannya surat al-Baqarah ayat 195:
“...dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...”.
C.
Bom
Bunuh Diri dalam Perspektif Hukum Islam
1.
Dasar diperbolehkannya bom bunuh diri
Mayoritas ulama kontemporer
memperbolehkan aksi bom bunuh diri dan mengkategorikan aksi ini sebagai jihad
yang pelakunya dikategorikan mati syahid dan mendapat pahala di sisi Allah Swt.
Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Yusuf al-Qaradawi, Wahbah
al-Zuhaili, Muhammad al-Zuhaili, Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, dan Syaikh
Ibrahim al-Shail.
Ulama memperbolehkan aksi bom
bunuh diri beragumentasi dengan dalil-dalil dan argumentasi sebagai berikut:
a. Bom bunuh diri merupakan aksi
untuk “menjual diri” kepada Allah Swt. Berdasarkan firman-Nya dalam surat
al-Taubah ayat 111.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang pada jalan Allah. lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.”[10]
Menurut
Nawaf Hayl, ayat diatas dengan jelas menyatakan bahwa untuk menebus surge
adalah dengan menyerahkan nyawa, dan ini dapat dilakukan dengan aksi bom bunuh
diri. Karena bagi seorang Mujahid hanya ada dua kemungkinan, pulang dengan
selamat atau dia mati di medan perang,dan bagi pelaku bom bunuh diri adalah dia
akan mati.
b. Riwayat dari Abdullah bin
Zubair
Diriwayatkan bahwa pada saat terjadi
perang jamal dia bergulat (perang tanding) dengan al-Asytar al-Nukha’i. Ketika
Zubair sudah merasa kalah ia berkata kepada Asytar, “bunuhlah aku wahai
Asytar.”
Ibnu Zubair menyuruh al-Asytar untuk
membunuhnya yang berarti dia telah mengorbankan dirinya. Para sahabat terdiam
dan tidak ada yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Zubair
tersebut sebagai tindakan bunuh diri. Perkataan Ibnu Zubair tersebut merupakan qoul
al-shahabi atau ijma sukuti.
c. Bom bunuh diri merupakan upaya
untuk menyerang musuh yang tidak ada harapan selamat bagi pelakunya dengan
tujuan mengalahkan dan meneror musuh. Dengan demikian, pada dasarnya bom bunuh
diri sebenarnya tujuan utamanya adalah membunuh musuh dan mengalahkannya serta
memotivasi kaum muslimin untuk lebih berani.berbeda dengan bunuh diri yang
tujuan utamanya dalam membunuh diri sendiri hal ini jelas haram.[11]
2.
Syarat
Diperbolehkannya
Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri yang diperbolehkan
adalah bom bunuh diri yang ditujukan untuk berjihad. Jihad dalam rangka
mempertahankan diri dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan
menggunakan bom bunuh diri. Namun demikian, bom bunuh diri yang diperbolehkan
harus memenuhi berbagai syarat. Ulama mensyaratkan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Bom bunuh yang diperbolehkan
ditujukan kepada musuh-musuh Islam atau orang kafir yang sedang berperang
terhadap Islam kaum muslimin, seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan.
b. Bom bunuh diri yang dilakukan
diyakini akan menimbulkan ketakutan kepada musuh Islam
c. Bom bunuh diri dilakukan
dengan ikhlas hanya untuk mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas merupakan syarat
pokok sahnya sebuah amal, termasuk jihad.
d. Pelaku bom bunuh diri bukan
orang yang sedang putus asa yang ingin mengakhiri hidupnya.[12]
Salman bin Fahd al-‘Audah menjelaskan
syarat lain yang dia himpun dari berbagai pendapat ulama, yaitu:
a. Bom bunuh diri dilakukan hanya
untuk menegakkan agama Allah
b. Bom bunuh diri diyakini akan
melukai, menimbulkan ketakutan bagi musuh, dan melemahkan musuh
c. Bom bunuh yang diperbolehkan
ditujukan kepada musuh Islam atau orang
kafir yang telah mendeklarasikan berperang terhadap Islam kaum muslimin
d. Bom bunuh diri dilakukan
diwilayah kaum muslimin yang telah direbut dan dikuasai musuh
e. Pelaku bom bunuh diri harus
mendapatkan izin dari kedua orangtuanya. Izin dari orangtua merupakan syarat
umum dalam jihad.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka
dapat dimengerti bahwa aksi bom bunuh diri dapat dikategorikan yang
diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat sebagimana dijelaskan diatas.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka aksi bom bunuh diri tidak
diperbolehkan.[13]
Seseorang tidaklah diperbolehkan
menghilangkan anggota dirinya atau bunuh diri, sebab tubuh yang menjadi haknya,
disitu juga mengandung hak Allah (musytarak).[14]
Sudah tentu bencana yang menimpa
manusia karena bunuh diri lebih berat dalam neraka daripada bencana yang
ditimbulkan oleh pembunuhan terhadap orang lain. Betul keduanya merupakan
pembunuhan yang diharamkan Allah, hanya pertama ia membunuh orang lain agar dia
sendiri hidup yamg bunuh diri ia membunuh agar ia mati. Kalau pembunuhan
terhadap orang lain merupakan ancaman terhadap manusia maka pembunuhan diri
lebih merusak dan lebih berbahaya.[15]
Secara nalar umum (common sence)
maupun logika hukum dan tujuan syariat, jihad dengan menggunakan teror bom
bukan saja mengindikasikan sifat-sifat manusia yang putus asa, hilang akal
sehatnya, melainkan juga mereka telah meracuni menenggelamkan kebanggaan
martabat Islam sebagai agama yang penuh kedamaian.[16]
Menurut Yusuf al-Qaradawi, praktik
bom bunuh diri yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina untuk
melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam bentuk terror yang dilarang
dengan alasan apa pun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil.
D.
Hukum Bom Bunuh Diri Menurut MUI
Fatwa MUI tentang Bom Bunuh Diri dan ‘Amaliyah
al-Istisyhad
1. Orang yang bunuh diri itu
membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku
‘amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan
umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas
ketentuan Allah sedangkan perilaku ‘amaliyah al-istisyhad adalah manusia yang
seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhoan Allah SWT.
2. Bom bunuh diri hukumnya haram
karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusan ( al-ya’su) dan
mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan didaerah damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar
al-da’wah) maupun di daerah perang (al-harb)
3.
‘Amaliyah
al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian
dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam
keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian
yang lebih besar dipihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat
mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.[17]
E.
Penutup
Berdasarkan
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bom bunuh diri dapat dikatakan sebagai
bentuk jihad apabila memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Ulama mensyaratkan
syarat-syarat sebagai berikut: pertama, bom bunuh yang diperbolehkan
ditujukan kepada musuh-musuh Islam atau orang kafir yang sedang berperang
terhadap Islam kaum muslimin, seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan. Kedua,
bom bunuh diri yang dilakukan diyakini akan menimbulkan ketakutan kepada musuh
Islam. Ketiga, bom bunuh diri dilakukan dengan ikhlas hanya untuk
mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas merupakan syarat pokok sahnya sebuah amal,
termasuk jihad. Keempat, pelaku bom bunuh diri bukan orang yang sedang
putus asa yang ingin mengakhiri hidupnya.
Menurut MUI, bom bunuh diri
hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusan (
al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan
didaerah damai (dar al-shulh/dar
al-salam /dar al-da’wah) maupun di daerah perang (al-harb).
Daftar Pustaka
Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, Bandung:
Pustaka, 2001.
Badri
Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Imam
An-Nawawi, Terjemahan Riyadh Ash Shalihin Jilid 2, Jakarta: Pustaka Amani, 2013
Imam
Mustofa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual (Jawaban Hukum Islam atas
Berbagai Problem Kontekstual Umat, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013.
Jawahir
Thontowi, Islam Neo-Imperialisme dan Terorisme; perspektif Hukum Internasional
dan Nasional, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Ma’ruf
Amin, et. all, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011.
Mahmud Saltut, Fatwa-Fatwa, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Syeikh
Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Qawaa’idul Ahkaam fi Mashaalihil Anam(Kaidah-Kaidah
Hukum Islam), Bandung: Nusa Media, 2011.
Nawaf
Hail Takruri, Aksi Bunuh
Diri atau Mati Syahid (Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), Jakarta :Pustaka
Al-Kautsar, 2002.
Muhammad
Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom
Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa
Hukmuha fi Al-Islam), Bandung
: Pustaka Umat, 2002.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Jakarta: PT Tinta Abadi
Gemilang, 2013.
[1] Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual (Jawaban
Hukum Islam atas Berbagai Problem Kontekstual Umat, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 120.
[2] Nawaf Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati
Syahid (Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), (Jakarta :Pustaka Al-Kautsar,
2002), h. 2.
[3] Muhammad Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom Syahid dalam
Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi
Al-Islam), (Bandung: Pustaka Umat, 2002), h.
17.
[5] Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), h. 254
[10] Imam An-Nawawi, Terjemahan Riyadh Ash Shalihin Jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2013), h. 267
[11] Imam Mustofa, SHI., MSI, Ijtihad Kontemporer..., h. 134
[12] Imam Mustofa, SHI., MSI,
Ijtihad Kontemporer..., h. 136
[13] Imam Mustofa, SHI., MSI, Ijtihad Kontemporer..., h. 139
[14] Syeikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Qawaa’idul Ahkaam fi Mashaalihil
Anam(Kaidah-Kaidah Hukum Islam), (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 163
[15] Mahmud Saltut, Fatwa-Fatwa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 178
[16] Jawahir Thontowi, Islam Neo-Imperialisme dan Terorisme; perspektif
Hukum Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 23
[17] K. H. Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar