Kamis, 16 Maret 2017

MAKALAH : HUKUM BOM BUNUH DIRI



FIQIH TERORISME
HUKUM BOM BUNUH DIRI

A.   Pendahuluan
            Kegeraman sebagian umat Islam terhadap tindak imperialisme Barat terhadap sebagian muslim di dunia menimbulkan rasa empati, simpati dan bahkan dendam muslim lainnya, sehingga mereka berusaha melakukan perlawanan. Salah satu cara perlawanan yang kini marak dilakukan adalah dengan aksi bom bunuh diri.
            Bahkan aksi semacam ini tidak hanya terjadi di wilayah atau negara yang sedang dijajah, akan tetapi juga sering terjadi di daerah atau negara damai seperti di Indonesia. Para pelaku bom bunuh diri sering melakukan aksinya di objek-objek vital yang banyak dikunjungi warga Negara Barat yang telah melakukan teror terhadap sebagian umat Islam di Palestina, Irak, Afganistan dan sebagainya.
            Mereka tidak memandang, apakah aksi bom bunuh diri dapat membunuh dan melukai warga sipil yang tak berdosa serta mengakibatkan korban kerusakan di fasilitas-fasilitas umum seperti hotel stasiun, bandara, dan fasilitas umum lainnya.[1]
           
           
B.   Konsep dasar bom bunuh diri

1.    Pengertian Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human bombing) menurut Nawaf Hail Takruri adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.[2]
 Adapun menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin.[3]
Nawaf Hail al-Takruri, dalam bukunya al-‘Amaliyat al-Istisyhadiyah fi Mizani al-Fiqhi mendefinisikan bom bunuh diri sebagai berikut:
“Bom tas atau bom mobil dan sejenisnya yang diledakkan oleh seorang mujahid dengan cara menerobos barisan musuh atau tempat yang didiami oleh musuh atau di kendaraan seperti pesawat dan sejenisnya dengan tujuan membunuh atau melukai musuh tersebut atau menghancurkan musuh, sementara sang pelaku sudah pasrah dan siap mati demi tujuan.”

Definisi diatas merujuk pada bom bunuh diri yang dilakukan sebagai bentuk jihad. Karena Nawaf menyebut pelakunya sebagai mujahid atau orang yang berjihad. Bom bunuh diri seperti ini dapat dikategorikan jihad apabila memenuhi syarat-syarat.[4]
Para penulis kamus bahasa Arab menyatakan bahwa jihad adalah perjuangan melawan musuh hingga dapat mengalahkannya atau berjuang hingga mencapai batas kesanggupan. Dalam Islam, jihad adalah berperang melawan orang kafir dan semacamnya.[5]
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa berjihad adalah berkorban dengan harta, jiwa, dan melawan dengan lisan dan tulisan. Dalam  Al-Qur’an, kata jihad  mengandung arti memberikan perlawana dengan kekuatan secara mutlak.[6] Mempertaruhkan hidup seseorang dan segala sesuatu yang dimiliki untuk mencapai tujuan disebut jihad.[7]
Dalam kumpulan risalah pembahasan tentang fenomena kontemporer bom bunuh diri didefinisikan sebagai berikut:
“seseorang yang menerobos ke tengah-tengah kerumunan musuh dengan membawa bahan peledak (bom), biasanya bom mobil dengan tujuan melukai dan membunuh musuh, sementara pelakunya turut mati”.[8]

Serangan bunuh diri adalah sejenis taktik, yang direncanakan dan di organisir oleh kelompok militer atau para militer yang berkomitmen tinggi. Menurut Robert Pape, direktur Proyek Chicago tentang terorisme bunuh diri dan pakar tentang bom bunuh diri, 95 persen dari serangan-serangan itu di waktu-waktu belakangan ini mempunyai tujuan strategis spesifik yang sama yaitu memaksa Negara yang diperebutkan. Pape mencatat bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir serangan-serangan bunuh diri sebagai taktik politik digunakan unutk melawan Negara-negara demokratis di mana opini public memainkan peranan dalam menentukan kebijakan.

2.    Bom Bunuh diri sebagai Jihad
Jihad diambil dari kata dasar al-juhdu, yang bermakna kekuatan dan kesulitan. Disebut dengan jahada-yujahidu-jihadan-wa mujahadatan adalah bila seseorang harus mengerahkan seluruh kekuatan ,menguras tenaga, rela menanggung kesulitan dalam memerangi musuh,vdan melawan mereka.[9]
Bom bunuh diri sebagai bentuk jihad disini di pahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melakukan perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan baik jiwa dan raga. Oleh sebab itulah, perjuangan atas nama Islam yang terformulasi menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut.
Bom bunuh diri yang dilakukan seseorang sebagai bentuk jihad adalah untuk melawan musuh-musuh, melukai musuh dan membunuh musuh serta membela agama Islam. Orang yang melakukan bom bunuh diri tersebut bisa saja meninggal karena bom yang diledakkannya itu. Karenanya sang pelaku bom bunuh diri tersebut sudah siap untuk mati. Dan menganggap kematiannya sebagai bentuk jihad.
Jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab mengkategorikan menerobos pasukan musuh sebagai jihad. Pelaku disebut sebagai mujahid dan apabila mati maka dia mati syahid dan bukan bunuh diri. Namun aksi semacam ini harus memenuhi dua syarat:
a.    Orang yang melakukan nya harus ikhlas dengan didasari niat untuk menggapai ridha Allah Swt.
Berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 207:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
b.    Pelaku harus yakin atau dengan perhitungan yang matang bahwa aksinya tersebut akan mengalahkan musuh
Sebagian ulama tidak membolehkan menerobos barisan musuh, karena aksi tersebut sama saja dengan aksi bunuh diri pada umumnya yang dilarang oleh Allah Swt., sebagaimana dalam firmannya surat al-Baqarah ayat 195:
“...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...”.


C.   Bom Bunuh Diri dalam Perspektif Hukum Islam

1.    Dasar diperbolehkannya bom bunuh diri
Mayoritas ulama kontemporer memperbolehkan aksi bom bunuh diri dan mengkategorikan aksi ini sebagai jihad yang pelakunya dikategorikan mati syahid dan mendapat pahala di sisi Allah Swt. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Yusuf al-Qaradawi, Wahbah al-Zuhaili, Muhammad al-Zuhaili, Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti, dan Syaikh Ibrahim al-Shail.
Ulama memperbolehkan aksi bom bunuh diri beragumentasi dengan dalil-dalil dan argumentasi sebagai berikut:
a.    Bom bunuh diri merupakan aksi untuk “menjual diri” kepada Allah Swt. Berdasarkan firman-Nya dalam surat al-Taubah ayat 111.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah. lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”[10]
Menurut Nawaf Hayl, ayat diatas dengan jelas menyatakan bahwa untuk menebus surge adalah dengan menyerahkan nyawa, dan ini dapat dilakukan dengan aksi bom bunuh diri. Karena bagi seorang Mujahid hanya ada dua kemungkinan, pulang dengan selamat atau dia mati di medan perang,dan bagi pelaku bom bunuh diri adalah dia akan mati.
b.    Riwayat dari Abdullah bin Zubair
Diriwayatkan bahwa pada saat terjadi perang jamal dia bergulat (perang tanding) dengan al-Asytar al-Nukha’i. Ketika Zubair sudah merasa kalah ia berkata kepada Asytar, “bunuhlah aku wahai Asytar.”
Ibnu Zubair menyuruh al-Asytar untuk membunuhnya yang berarti dia telah mengorbankan dirinya. Para sahabat terdiam dan tidak ada yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Zubair tersebut sebagai tindakan bunuh diri. Perkataan Ibnu Zubair tersebut merupakan qoul al-shahabi atau ijma sukuti.
c.    Bom bunuh diri merupakan upaya untuk menyerang musuh yang tidak ada harapan selamat bagi pelakunya dengan tujuan mengalahkan dan meneror musuh. Dengan demikian, pada dasarnya bom bunuh diri sebenarnya tujuan utamanya adalah membunuh musuh dan mengalahkannya serta memotivasi kaum muslimin untuk lebih berani.berbeda dengan bunuh diri yang tujuan utamanya dalam membunuh diri sendiri hal ini jelas haram.[11]

2.    Syarat Diperbolehkannya Bom Bunuh Diri
            Bom bunuh diri yang diperbolehkan adalah bom bunuh diri yang ditujukan untuk berjihad. Jihad dalam rangka mempertahankan diri dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menggunakan bom bunuh diri. Namun demikian, bom bunuh diri yang diperbolehkan harus memenuhi berbagai syarat. Ulama mensyaratkan syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Bom bunuh yang diperbolehkan ditujukan kepada musuh-musuh Islam atau orang kafir yang sedang berperang terhadap Islam kaum muslimin, seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan.
b.    Bom bunuh diri yang dilakukan diyakini akan menimbulkan ketakutan kepada musuh Islam
c.    Bom bunuh diri dilakukan dengan ikhlas hanya untuk mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas merupakan syarat pokok sahnya sebuah amal, termasuk jihad.
d.    Pelaku bom bunuh diri bukan orang yang sedang putus asa yang ingin mengakhiri hidupnya.[12]

            Salman bin Fahd al-‘Audah menjelaskan syarat lain yang dia himpun dari berbagai pendapat ulama, yaitu:
a.    Bom bunuh diri dilakukan hanya untuk menegakkan agama Allah
b.    Bom bunuh diri diyakini akan melukai, menimbulkan ketakutan bagi musuh, dan melemahkan musuh
c.    Bom bunuh yang diperbolehkan ditujukan kepada musuh Islam atau orang kafir yang telah mendeklarasikan berperang terhadap Islam kaum muslimin
d.    Bom bunuh diri dilakukan diwilayah kaum muslimin yang telah direbut dan dikuasai musuh
e.    Pelaku bom bunuh diri harus mendapatkan izin dari kedua orangtuanya. Izin dari orangtua merupakan syarat umum dalam jihad.

            Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dimengerti bahwa aksi bom bunuh diri dapat dikategorikan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat sebagimana dijelaskan diatas. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka aksi bom bunuh diri tidak diperbolehkan.[13]
            Seseorang tidaklah diperbolehkan menghilangkan anggota dirinya atau bunuh diri, sebab tubuh yang menjadi haknya, disitu juga mengandung hak Allah (musytarak).[14]
            Sudah tentu bencana yang menimpa manusia karena bunuh diri lebih berat dalam neraka daripada bencana yang ditimbulkan oleh pembunuhan terhadap orang lain. Betul keduanya merupakan pembunuhan yang diharamkan Allah, hanya pertama ia membunuh orang lain agar dia sendiri hidup yamg bunuh diri ia membunuh agar ia mati. Kalau pembunuhan terhadap orang lain merupakan ancaman terhadap manusia maka pembunuhan diri lebih merusak dan lebih berbahaya.[15]
            Secara nalar umum (common sence) maupun logika hukum dan tujuan syariat, jihad dengan menggunakan teror bom bukan saja mengindikasikan sifat-sifat manusia yang putus asa, hilang akal sehatnya, melainkan juga mereka telah meracuni menenggelamkan kebanggaan martabat Islam sebagai agama yang penuh kedamaian.[16]
            Menurut Yusuf al-Qaradawi, praktik bom bunuh diri yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina untuk melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam bentuk terror yang dilarang dengan alasan apa pun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil.

D.   Hukum Bom Bunuh Diri Menurut MUI
Fatwa MUI tentang Bom Bunuh Diri dan ‘Amaliyah al-Istisyhad
1.    Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku ‘amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan perilaku ‘amaliyah al-istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhoan Allah SWT.
2.    Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusan ( al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan didaerah  damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar al-da’wah) maupun di daerah perang (al-harb)
3.    ‘Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar dipihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.[17]

E.    Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bom bunuh diri dapat dikatakan sebagai bentuk jihad apabila memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Ulama mensyaratkan syarat-syarat sebagai berikut: pertama, bom bunuh yang diperbolehkan ditujukan kepada musuh-musuh Islam atau orang kafir yang sedang berperang terhadap Islam kaum muslimin, seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan. Kedua, bom bunuh diri yang dilakukan diyakini akan menimbulkan ketakutan kepada musuh Islam. Ketiga, bom bunuh diri dilakukan dengan ikhlas hanya untuk mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas merupakan syarat pokok sahnya sebuah amal, termasuk jihad. Keempat, pelaku bom bunuh diri bukan orang yang sedang putus asa yang ingin mengakhiri hidupnya.
Menurut MUI, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusan ( al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan didaerah  damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar al-da’wah) maupun di daerah perang (al-harb).


Daftar Pustaka

Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, Bandung: Pustaka, 2001.
Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Imam An-Nawawi, Terjemahan Riyadh Ash Shalihin Jilid 2, Jakarta: Pustaka Amani, 2013
Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual (Jawaban Hukum Islam atas Berbagai Problem Kontekstual Umat, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Jawahir Thontowi, Islam Neo-Imperialisme dan Terorisme; perspektif Hukum Internasional dan Nasional, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Ma’ruf Amin, et. all, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.
Mahmud Saltut, Fatwa-Fatwa, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Syeikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Qawaa’idul Ahkaam fi Mashaalihil Anam(Kaidah-Kaidah Hukum Islam), Bandung: Nusa Media, 2011.
Nawaf Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), Jakarta :Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Muhammad Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam), Bandung : Pustaka Umat, 2002.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Jakarta: PT Tinta Abadi Gemilang, 2013.


[1] Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer Menuju Fiqih Kontekstual (Jawaban Hukum Islam atas Berbagai Problem Kontekstual Umat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 120.
[2] Nawaf Hail Takruri, Aksi Bunuh Diri atau Mati Syahid (Al-’Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi), (Jakarta :Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 2.
[3] Muhammad Tha’mah Al Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam (Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam), (Bandung: Pustaka Umat, 2002), h. 17.
[4]Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer, h. 125.
[5] Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 254
[6] Ibid, h. 255.
[7] Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 265.
[8] Imam Mustofa, Ijtihad Kontemporer…, h. 265.
[9]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, (Jakarta: PT Tinta Abadi Gemilang, 2013) , h. 429
[10] Imam An-Nawawi, Terjemahan Riyadh Ash Shalihin Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2013), h. 267
[11] Imam Mustofa, SHI., MSI, Ijtihad Kontemporer..., h. 134
[12]  Imam Mustofa, SHI., MSI, Ijtihad Kontemporer..., h. 136
[13] Imam Mustofa, SHI., MSI, Ijtihad Kontemporer..., h. 139
[14] Syeikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Qawaa’idul Ahkaam fi Mashaalihil Anam(Kaidah-Kaidah Hukum Islam), (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 163
[15] Mahmud Saltut, Fatwa-Fatwa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 178
[16] Jawahir Thontowi, Islam Neo-Imperialisme dan Terorisme; perspektif Hukum Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 23
[17] K. H. Ma’ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar