Kamis, 16 Maret 2017

MAKALAH : FILSAFAT

A.   Pengertian Filsafat (Arti Menurut Bahasa Dan Arti Menurut Istilah)
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu : philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[1]
Dilihat dari segi bahasa, perkataan filsafat adalah bentuk kata Arab yang berasal dari bahasa Yunani “philosophia”, yang merupakan kata majemuk. Philo berarti suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan.[2]
Plato memberikan istilah dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi. Dikatakan demikian karena, flsafat harus berlangsung sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat yang berlaku.kearifan atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses pemeriksaan secara kritis ataupun dengan berdiskusi. Juga diartikan sebagai suatu penyelidikan terhadap sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena seorang filosof akan selalu mencari sebab-sebab dan asas-asas yang penghabisan (terakhir) dari benda-benda.[3]
            Menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat)[4]

B.   Objek Materi Dan Objek Forma Filsafat
Yang disebut objek materi adalah hal atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan). Sedangkan objek forma adalah sudut pandang (point of view), dari mana hal atau bahan tersebut dipandang.
Menurut Ir. Poedjawijatna, objek materi filsafat adalah ada dan mungkin  ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainnya adalah objek formanya, sehingga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah objek forma filsafat.[5]
Mohammad Noor berpendapat bahwa objek filsafat itu dibedakan atas objek materil dan nonmaterial. Objek materil mencakup segala sesuatu yang ada dan mungki ada, baik materiil konkret fisik. Sedangkan objek non materiil meliputi hal-hal yang abstrak dan psikis. [6]
Selanjutnya dapat dikemukakan objek formal filsafat menurut Lasiyo dan Yuwono adalah sudut pandang yang menyeluruh, secara umum, sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materiilnya. Jadi, objek formal filsafat ini membahas objek materiilnya sampai ke hakikat atau esensi dari yang dibahasnya.[7]
Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objek tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya.[8]

C.   Ciri-Ciri Berfikir Filsafat
Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain. Beberapa ciri berpikir filsafat dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Radikal, berpikir sampai ke akar-akarnya
2.    Universal, menyangkut pengalaman umum manusia
3.    Konseptual, yaitu hasil generalisasi dan abstraksi
4.    Koheren dan konsisten (runtut)
5.    Sistematik, yaitu saling berhubungan secara teratur
6.    Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh
7.    Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas.
8.    Bertanggung jawab, seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap pemikirannya.[9]

Menurut Clarence I. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiata problema kehidupan manusia. Terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat berfikir filsafat yaitu,
1.    Sangat umum atau universal
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum, dan tingkat keumumannya sangat tinggi
2.    Tidak faktual
Yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan pada bukti.
3.    Bersangkutan dengan nilai
C. J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian.
4.    Berkaitan dengan arti
Agar para filosof dalam mengungkapkan ide-idenya sarat dengan arti, para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa yang tepat (ilmiah).
5.    Implikatif
Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis).[10]




D.   Teori-Teori Tentang Kebenaran Menurut Filsafat
Secara tradisional, terdapat tiga teori mengenai kebenaran, yaitu: teori korespondensi tentang kebenaran, teori koherensi tentang kebenaran, dan teori pragmatis tentang kebenaran.[11]
1.    Teori Korespondensi
Menurut paham ini, kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara bentuk-bentuk simbolik bahasa seperti kata, kalimat, gagasan atau pikiran, dengan keadaan nyatanya, yakni objeknya yang berada di luar kita.kebenaran, dengan demikian, adalah adanya ekuivalensi, adanya hubungan satu hal dengan hal lainnya (isomorphism), atau adanya kesamaan antara aspek simbolis atau representative, yakni kata atau pikiran, dengan keadaan di luar, yakni objek yang disimbolkannya.
2.    Teori Koherensi
Menurut teori ini, kebenaran terjadi jika suatu sistem proposisi secara internal koheren (runtut) satu sama lainnya. [12] Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dan pembuktiannya didasarkan pada teori koherensi. Sistem matematika disusun pada beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma.[13]
3.    Teori Pragmatis
Menurut teori pragmatis kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[14]
4.    Teori Performatif
Teori performatif tentang kebenaran meyakini bahwa suatu pernyataan disebut benar jika di[utuskan atau dikemukakan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang memiliki otoritas tertentu dibidangnya. Dalam kehidupan yang sebenarnya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran sering kali tidak berkenaan dengan acuan empiris (korespondensi) atau konsistensi antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya (koherensi), melainkan dengan orang atau tokoh yang mengungkapkan “kebenaran” itu.[15]
5.    Teori Konsesus
Teori konsesus tentang kebenaran memiliki pendapat yang berbeda dari empat teori yang telah dijelaskan diatas. Menurut teori ini, kriteria kebenaran suatu pernyataan tidak terletak pada pernyataan itu sendiri, atau pada konsekuensi praktis dari pernyataan itu, melainkan pada pengakuan suatu komunitas yang mendukung pernyataan tersebut.ini berarti bawha kebenaran suatu pernyataan pada dasarnya terletak pada aspek sosial dan psikologis, bukan pada isi atau bentuk dari pernyataan tersebut.[16]

E.   Beberapa Kegunaan Mempelajari Filsafat
1.      Dengan belajar filsafat diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu pengetahuan akan bertambah pula cakrawala pemikiran, cakrawala pandang yang  semakin luas. Hal itu dapat mebantu penyelesaian masalah yang akan kita hadapi dengan cara yang lebih bijaksana.
2.      Dasar dari semua tindakan adalah ide. Sesungguhnya filsafat didalamnya memuat ide-ide yang fundemental. Ide-ide itulah yang akan membawa manusia kearah suatu kemampuan untk merentang kesadarannya dalam segala tindakannya, sehingga manusia akan dapat lebih hidup, lebih tanggap (peka) terhadap diri dan lingkungannya, lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya.
3.      Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita semakin ditantang dengan memberikan alternatifnya. Di satu sisi kita berhadapan dengan kemajuan teknologi besserta dampak negatifnya, perubahan demikian cepatnya, pergeseran tata nilai, dan akhirnya kita akan semakin jauh dari tata nilai dan moral.[17]

F.    Perbedaan Filsafat Barat Dengan Filsafat Islam
1.    Filsafat Barat
Filsafat Barat terbagi dalam empat periode, yakni periode Yunani Kuno, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer (abad ke-20 dan 21).
Filsafat Yunani dimulai sejak Abad ke-6 SM. Sejarah filsafat Yunani diawali dengan munculnya filsafat alam, karena para filsuf pertama Yunani berusaha mencari jawaban tentang asal-usul dan kejadian alam semesta.[18]
Masa abad pertengahan dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupan/sistem kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima anjuran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.[19]
Periode Modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan renaissance.[20]
Fisafat Kontemporer diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan, kritik social, metodologi, filsafat hidup, filsafat ilmu sampai tentang perempuan.[21]

2.    Filsafat Islam
Menurut Sirajudin Zar, filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Menurut Zar, filsafat Islam cakupannya sangat luas, bukan hanya masalah alam semesta dan seisinya saja, tetapi juga berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan dan kenabian. Filsafat Islam juga membahas yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya dan bahkan membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian dan masalah ruh yang sangat komplek itu. Dan yang paling spesifik, sekaligus merupakan kelebihn dari filsafat lainnya adalah dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal, yang dalam filsafat Yunani dan lainnya tidak ditemukan.[22]

G.   Beberapa Aliran Filsafat Modern
Filsafat modern berawal pada paruh kedua abad ke- 16 Masehi, setelah terlebih dahulu di mulai oleh Gerakan Renaissance dan Humanisme di Eropa Barat (pertengahan tahun 1300-an hingga 1600). Gerakan ini merupakan reaksi atas kekuasaan gereja. Pada jaman ini banyak filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mundi (penjiarah di muka bumi), melainkan sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari sendiri kebenaran, bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja dan agama.[23]

1.    Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah  alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.[24]
Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes(1596-1650) yang disenut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metose yang umum.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dpata dipercaya adalah akal. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah kegiatan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Rene Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran pasti yang dapat ditemukan dalam keraguan-keraguan,cogito ergo sum ( saya berpikir maka saya ada). Jelasnya, bertolak belakang dari keraguan untuk mendapatkan kepastian.[25]

2.    Empirisme
Empirisme adalah suatu dokrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.[26]
David Hume adalah tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat empirisme Locke dan Berkley secara konsekuen. Menurut David Hume, manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengalaman. David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan di banding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat.[27]



3.    Idealisme
Idealisme adalah dokrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1753) yang menyatakan bahwa hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea.[28]
Pelopor idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).

4.    Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad ke -19. Titik tolak pemikirannya, apa yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebtu kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Beberapa tokohnya: August Comte (1798-1857), John S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[29]

5.    Materialisme
Munculnya positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap aspek kerohanian. Julien de Lametterie (1709-1751) mengemukakan pemikirannya bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya dianggap sebagai mesin. Buktinya bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada.
Seorang tokoh lagi (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feueurbach (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama/metafisika. Satu-satunya asa kesusilaan adalah keinginan unutk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya.[30]

6.    Eksitensialisme
Eksitensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasarkan pada eksitensinya. Artinya, bagaiman manusia berada (bereksitensi) dalam dunia.
Pelopornya adalah Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger, J.P. Sartre, Karl Jaspers, Gabriel Marcel.
Pemikiran Soren Kierkegaard mengemukakan bahwa itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksitensi yang individual, yang konkret. Karena, eksitensi manusia penuh dengan dosa.[31]





DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta:Rajawali Pers, 2012.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012.
Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.



[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012) , h. 4
[2] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, (Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 2
[3] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h.2
[4] Ibid, h. 3
[5] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h. 9
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 12
[7] Ibid, h. 13
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 2
[9] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 5
[10] Asmoro achmadi, filsafat umum.., h. 11
[11] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 52
[12] Ibid, h. 53
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama…, h. 33
[14] Ibid, h. 34
[15] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat…, h. 55
[16] Ibid, h. 56
[17] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum.., h. 19
[18] Zainal Abidin, h. 85
[19] Asmoro Achmadi, h. 68
[20] Ibid, h. 113
[21] Zainal Abidin, h. 123
[22] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam.., h. 42
[23]Zaimal Abidin, Pengantar Filsafat…, h. 111
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 127
[25] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h. 116
[26] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, h. 173
[27] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama…, h. 108
[28] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, h. 144
[29] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h. 121
[30] Ibid, h. 123
[31] Ibid, h. 128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar