A.
Pengertian
Filsafat (Arti Menurut Bahasa Dan Arti Menurut Istilah)
Filsafat
dalam bahasa Inggris, yaitu : philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari
bahasa Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) dan
sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan keterampilan, pengalaman praktis,
intelegensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab
disebut failasuf.[1]
Dilihat
dari segi bahasa, perkataan filsafat adalah bentuk kata Arab yang berasal dari
bahasa Yunani “philosophia”, yang merupakan kata majemuk. Philo berarti suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan.[2]
Plato
memberikan istilah dengan dialektika yang
berarti seni berdiskusi. Dikatakan demikian karena, flsafat harus berlangsung
sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat yang
berlaku.kearifan atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses
pemeriksaan secara kritis ataupun dengan berdiskusi. Juga diartikan sebagai
suatu penyelidikan terhadap sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena
seorang filosof akan selalu mencari sebab-sebab dan asas-asas yang penghabisan
(terakhir) dari benda-benda.[3]
Menurut al-Farabi, filsafat adalah
ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat)[4]
B.
Objek
Materi Dan Objek Forma Filsafat
Yang disebut objek materi adalah hal
atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan). Sedangkan
objek forma adalah sudut pandang (point of view), dari mana hal atau bahan
tersebut dipandang.
Menurut Ir. Poedjawijatna, objek
materi filsafat adalah ada dan mungkin
ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi dari ilmu
seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainnya adalah
objek formanya, sehingga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan
berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat
hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah objek forma filsafat.[5]
Mohammad Noor berpendapat bahwa
objek filsafat itu dibedakan atas objek materil dan nonmaterial. Objek materil
mencakup segala sesuatu yang ada dan mungki ada, baik materiil konkret fisik.
Sedangkan objek non materiil meliputi hal-hal yang abstrak dan psikis. [6]
Selanjutnya dapat dikemukakan objek
formal filsafat menurut Lasiyo dan Yuwono adalah sudut pandang yang menyeluruh,
secara umum, sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materiilnya. Jadi,
objek formal filsafat ini membahas objek materiilnya sampai ke hakikat atau
esensi dari yang dibahasnya.[7]
Sebagian filosof membagi objek
material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam kenyataan, yang ada
dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat
adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objek tentang yang ada, agar
dapat mencapai hakikatnya.[8]
C.
Ciri-Ciri
Berfikir Filsafat
Berpikir
kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang
ilmu lain. Beberapa ciri berpikir filsafat dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Radikal,
berpikir sampai ke akar-akarnya
2. Universal,
menyangkut pengalaman umum manusia
3. Konseptual,
yaitu hasil generalisasi dan abstraksi
4. Koheren
dan konsisten (runtut)
5. Sistematik,
yaitu saling berhubungan secara teratur
6. Komprehensif,
artinya mencakup atau menyeluruh
7. Bebas,
artinya sampai batas-batas yang luas.
8. Bertanggung
jawab, seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus
bertanggungjawab terhadap pemikirannya.[9]
Menurut
Clarence I. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu
sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang
terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiata problema kehidupan
manusia. Terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat berfikir filsafat
yaitu,
1. Sangat
umum atau universal
Pemikiran
filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum, dan tingkat keumumannya sangat
tinggi
2. Tidak
faktual
Yang
artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan
tidak berdasarkan pada bukti.
3. Bersangkutan
dengan nilai
C.
J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan,
berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian.
4. Berkaitan
dengan arti
Agar
para filosof dalam mengungkapkan ide-idenya sarat dengan arti, para filosof
harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa yang tepat
(ilmiah).
5. Implikatif
Pemikiran
filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis).[10]
D.
Teori-Teori
Tentang Kebenaran Menurut Filsafat
Secara
tradisional, terdapat tiga teori mengenai kebenaran, yaitu: teori korespondensi
tentang kebenaran, teori koherensi tentang kebenaran, dan teori pragmatis
tentang kebenaran.[11]
1. Teori
Korespondensi
Menurut
paham ini, kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara bentuk-bentuk simbolik
bahasa seperti kata, kalimat, gagasan atau pikiran, dengan keadaan nyatanya,
yakni objeknya yang berada di luar kita.kebenaran, dengan demikian, adalah
adanya ekuivalensi, adanya hubungan satu hal dengan hal lainnya (isomorphism), atau adanya kesamaan
antara aspek simbolis atau representative, yakni kata atau pikiran, dengan
keadaan di luar, yakni objek yang disimbolkannya.
2. Teori
Koherensi
Menurut
teori ini, kebenaran terjadi jika suatu sistem proposisi secara internal
koheren (runtut) satu sama lainnya. [12] Matematika adalah bentuk
pengetahuan yang penyusunannya dan pembuktiannya didasarkan pada teori
koherensi. Sistem matematika disusun pada beberapa dasar pernyataan yang
dianggap benar, yaitu aksioma.[13]
3. Teori
Pragmatis
Menurut
teori pragmatis kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.
Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[14]
4. Teori
Performatif
Teori
performatif tentang kebenaran meyakini bahwa suatu pernyataan disebut benar
jika di[utuskan atau dikemukakan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang
memiliki otoritas tertentu dibidangnya. Dalam kehidupan yang sebenarnya
kriteria untuk mengukur suatu kebenaran sering kali tidak berkenaan dengan
acuan empiris (korespondensi) atau konsistensi antara satu pernyataan dengan
pernyataan lainnya (koherensi), melainkan dengan orang atau tokoh yang
mengungkapkan “kebenaran” itu.[15]
5. Teori
Konsesus
Teori
konsesus tentang kebenaran memiliki pendapat yang berbeda dari empat teori yang
telah dijelaskan diatas. Menurut teori ini, kriteria kebenaran suatu pernyataan
tidak terletak pada pernyataan itu sendiri, atau pada konsekuensi praktis dari
pernyataan itu, melainkan pada pengakuan suatu komunitas yang mendukung
pernyataan tersebut.ini berarti bawha kebenaran suatu pernyataan pada dasarnya
terletak pada aspek sosial dan psikologis, bukan pada isi atau bentuk dari
pernyataan tersebut.[16]
E.
Beberapa
Kegunaan Mempelajari Filsafat
1.
Dengan belajar filsafat diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu pengetahuan akan bertambah pula
cakrawala pemikiran,
cakrawala pandang yang semakin luas. Hal itu dapat mebantu
penyelesaian masalah yang akan kita hadapi dengan cara yang lebih bijaksana.
2.
Dasar dari semua tindakan adalah ide. Sesungguhnya
filsafat didalamnya memuat ide-ide yang fundemental. Ide-ide itulah yang akan
membawa manusia kearah suatu kemampuan untk merentang kesadarannya dalam segala
tindakannya, sehingga
manusia akan dapat lebih hidup, lebih tanggap (peka) terhadap diri dan
lingkungannya, lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya.
3.
Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kita semakin ditantang dengan memberikan alternatifnya. Di satu
sisi kita berhadapan dengan kemajuan teknologi besserta dampak negatifnya,
perubahan demikian cepatnya, pergeseran tata nilai, dan akhirnya kita akan
semakin jauh dari tata nilai dan moral.[17]
F.
Perbedaan
Filsafat Barat Dengan Filsafat Islam
1.
Filsafat
Barat
Filsafat
Barat terbagi dalam empat periode, yakni periode Yunani Kuno, Abad Pertengahan,
Modern dan Kontemporer (abad ke-20 dan 21).
Filsafat
Yunani dimulai sejak Abad ke-6 SM. Sejarah filsafat Yunani diawali dengan
munculnya filsafat alam, karena para filsuf pertama Yunani berusaha mencari
jawaban tentang asal-usul dan kejadian alam semesta.[18]
Masa
abad pertengahan dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya
menggiring manusia ke dalam kehidupan/sistem kepercayaan yang picik dan fanatik,
dengan menerima anjuran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan
ilmu pengetahuan terhambat.[19]
Periode
Modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad
ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan renaissance.[20]
Fisafat
Kontemporer diawali pada awal abad ke-20, ditandai oleh pemikiran filsafat yang
sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan, kritik social,
metodologi, filsafat hidup, filsafat ilmu sampai tentang perempuan.[21]
2.
Filsafat
Islam
Menurut
Sirajudin Zar, filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam
masalah ketuhanan, kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran
Islam. Menurut Zar, filsafat Islam cakupannya sangat luas, bukan hanya masalah
alam semesta dan seisinya saja, tetapi juga berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan
dan kenabian. Filsafat Islam juga membahas yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani
dan lainnya dan bahkan membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat
sebelumnya seperti filsafat kenabian dan masalah ruh yang sangat komplek itu.
Dan yang paling spesifik, sekaligus merupakan kelebihn dari filsafat lainnya
adalah dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara
akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal, yang dalam filsafat Yunani dan
lainnya tidak ditemukan.[22]
G.
Beberapa
Aliran Filsafat Modern
Filsafat
modern berawal pada paruh kedua abad ke- 16 Masehi, setelah terlebih dahulu di
mulai oleh Gerakan Renaissance dan Humanisme di Eropa Barat (pertengahan tahun
1300-an hingga 1600). Gerakan ini merupakan reaksi atas kekuasaan gereja. Pada
jaman ini banyak filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa manusia pada
hakikatnya bukan sebagai viator mundi (penjiarah di muka bumi), melainkan
sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari
sendiri kebenaran, bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja
dan agama.[23]
1.
Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.[24]
Rasionalisme
dipelopori oleh Rene Descartes(1596-1650) yang disenut sebagai bapak filsafat
modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu
orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metose yang umum.
Rene
Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dpata dipercaya adalah akal. Dengan akal dapat diperoleh
kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar
belakang munculnya rasionalisme adalah kegiatan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata
tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Rene
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik
tolak pemikiran pasti yang dapat ditemukan dalam keraguan-keraguan,cogito ergo sum ( saya berpikir maka
saya ada). Jelasnya, bertolak belakang dari keraguan untuk mendapatkan
kepastian.[25]
2.
Empirisme
Empirisme
adalah suatu dokrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan
akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.[26]
David
Hume adalah tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat empirisme Locke
dan Berkley secara konsekuen. Menurut David Hume, manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengalaman. David
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan di banding kesimpulan
logika atau kemestian sebab akibat.[27]
3.
Idealisme
Idealisme
adalah dokrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami
dalam kebergantungannya pada jiwa (mind)
dan spirit (roh). Istilah ini diambil
dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato.
Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley
(1685-1753) yang menyatakan bahwa hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea.[28]
Pelopor
idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel
(1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
4.
Positivisme
Filsafat
positivisme lahir pada abad ke -19. Titik tolak pemikirannya, apa yang faktual
dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala
gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebtu kita atur
dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Beberapa
tokohnya: August Comte (1798-1857), John S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer
(1820-1903).[29]
5.
Materialisme
Munculnya
positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap
aspek kerohanian. Julien de Lametterie (1709-1751) mengemukakan pemikirannya
bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya dianggap sebagai
mesin. Buktinya bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan
jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada.
Seorang
tokoh lagi (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feueurbach (1804-1872) sebagai
pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun
tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak
agama/metafisika. Satu-satunya asa kesusilaan adalah keinginan unutk
mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan
sesamanya.[30]
6.
Eksitensialisme
Eksitensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasarkan
pada eksitensinya. Artinya, bagaiman manusia berada (bereksitensi) dalam dunia.
Pelopornya
adalah Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger, J.P. Sartre, Karl
Jaspers, Gabriel Marcel.
Pemikiran
Soren Kierkegaard mengemukakan bahwa itu tidak berada pada suatu sistem yang
umum tetapi berada dalam eksitensi yang individual, yang konkret. Karena,
eksitensi manusia penuh dengan dosa.[31]
DAFTAR
PUSTAKA
A. Susanto, Filsafat Ilmu:
Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis, Jakarta:
Bumi Aksara, 2011.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum:
Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta:Rajawali Pers, 2012.
Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012.
Hamzah Ya’qub, Filsafat
Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007
Zainal
Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2012) , h. 4
[2] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik
Temu Akal Dengan Wahyu, (Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 2
[3] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h.2
[4] Ibid, h. 3
[5] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h. 9
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu
Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), h. 12
[7] Ibid, h. 13
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Cet.
II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 2
[9] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir,
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 5
[10] Asmoro achmadi, filsafat umum.., h.
11
[11] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat
Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 52
[12] Ibid, h. 53
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama…, h.
33
[14] Ibid, h. 34
[15] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat…,
h. 55
[16] Ibid, h. 56
[17] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum.., h.
19
[18] Zainal Abidin, h. 85
[19] Asmoro Achmadi, h. 68
[20] Ibid, h. 113
[21] Zainal Abidin, h. 123
[22] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu
Kajian Dalam.., h. 42
[23]Zaimal Abidin, Pengantar Filsafat…, h.
111
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan
Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 127
[25] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h.
116
[26] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, h. 173
[27] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama…, h.
108
[28] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum…, h. 144
[29] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum…, h.
121
[30] Ibid, h. 123
[31] Ibid, h. 128